Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang

AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam.

Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung.

Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebaran polusi di bumi makin merajalela. Penyakit jiwa yang dialami seluruh umat manusia makin beragam jenisnya. Seperti ditulis di media di seluruh dunia. Atau, seperti yang dikatakan para pengamat atau aktivis lingkungan hidup.

Begitu pikiran singkat itu tergelar, saya pun berpikir bahwa Nyepi itu ternyata penting sekali. Karena tidak boleh beraktivitas, kita tidak mungkin ke luar rumah. Karena tidak mungkin keluar rumah, sepeda motor parkir di rumah. Karena sepeda motor di rumah, kita tidak perlu ke Pertamina. Karena tidak perlu ke Pertamina, kita tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli bensin yang memang semakin sulit didapat.

Masih karena sepeda motor parkir di rumah, asapnya nggak mungkin keluar dari knalpotnya. Pastinya juga, tidak ada asap yang membumbung ke langit. Karena tidak ada asap yang membumbung ke langit, artinya langit yang selama ini kusam akan tampak cemerlang. Langit yang selama ini kutek akan tampak biru jernih.

Itu baru sepeda motor karena kita tidak boleh berpergian (amati lelanguan). Ada juga Brata Penyepian lainnya yakni amati geni (tidak menyalakan api atau sumber cahaya). Karena larangan itu, televisi mati. Karena televisi mati, artinya listrik tak mengalir. Karena listrik tak mengalir, perusahaan listrik bisa menghemat penggunaan energi yang biasa dipakai untuk menciptakan atau membangkit potensi energi. Ketika sampai ke titik ini, lagi-lagi polusi bisa ditekan persentasenya.

Selain amati lelanguan dan amati geni, ada lagi amati karya atau tidak melakukan aktivitas. Sebetulnya, dengan kondisi kita tidak boleh pergi, kita sebetulnya sudah tidak bisa melakukan aktivitas seperti hari-hari biasanya. Dalam kondisi jeda dari berbagai aktivitas, kadar stres orang bisa dikurangi. Kenapa dikurangi, karena saya yakin, diam tanpa melakukan apapun sebetulnya bisa menimbulkan stres yang disebabkan karena bosan. Tapi, kadar stresnya tidak separah saat kita melakukan aktivitas sehari-hari.

Kita bisa bayangkan, ketika sehari-harinya kita disibukan dengan pekerjaan atau tugas kita, tingkat stresnya kadang membuncah. Apalagi mereka yang punya darah tinggi, biasanya cepat emosi. Bawaannya, hanya marah-marah saja. Yang patut dikhawatirkan, ketika seseorang tak mampu mengendalaikan emosinya, justru menjadi bibit penyakit lainnya. Entah stroke, jantung, atau yang paling celaka, GILA. (Saya buat kapital, soalnya di RSJ Bangli kabarnya sudah overload).

Bayangkan, berapa energi yang ada pada dirinya terbuang percuma karena amarah. Begitu juga kesedihan atau kegembiraan. Kalau sudah ke titik ini, kita kembali lagi ke soal penghematan energi.

Nah, itu baru contoh-contoh yang keluar dari imajinasi saya. Khayalan saya semata. Tapi, kalau dihitung-hitung ternyata ada manfaatnya buat dunia yang sudah jenuh dan kerepotan dengan maunya umat manusia.

Tapi, saya juga tidak mau takabur dengan khayalan saya. Saya tahu, sulit sekali itu bisa terjadi. Ini tergantung kemauan bangsa manusia yang salah satu sifat manusiawinya selalu ingin nyaman. Pastinya, khayalan saya itu bakal kandas karena sifat manusiawi itu sendiri. Yang, ternyata ada juga pada diri saya.

Belum lagi, ini ada kaitannya dengan good will (bahasa seramnya itikad atau kemauan) dari masing-masing kepala daerah yang tentunya berjalan dengan ideology negaranya masing-masing. Termasuk visi misinya sebagai kepala daerah di negaranya masing-masing. Entah itu, mempertahankan statusnya sebagai negara kuat, adidaya, digjaya, atau apalah.

Atau, sibuk membangun kekuatan ekonomi lewat jalur industrialisasi yang boros energi agar kelak negaranya memiliki kekuatan. Atau, ada pula pemimpin negara yang suka tebar pesona. Atau, ada pula kepala negara yang sedang berusaha melanggengkan kekuasaannya sehingga terpilih lagi dalam pemilu berikutnya.

Saya yakin khayalan saya ini akan sulit sekali terjadi. Tapi, saya kan manusia juga, boleh dong kalau saya mengkhayal. He he he…(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Menengok Klebutan Toya Masem (1)