Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Sebuah Khayalan Menjelang Petang AWAL mula postingan ini sejatinya tulisan status saya di Facebook. Saya membayangkan, bagaimana seandainya Hari Raya Nyepi yang selama ini dirayakan hanya di Bali saja, ternyata dirayakan di seluruh dunia. Kalau semuanya merayakan Nyepi, artinya seluruh aktivitas di berbagai belahan bumi stop selama 24 jam. Ketika sampai pada bayangan bahwa seluruh aktivitas di dunia ini bakal terhenti selama 24 jam, saya belum sempat berpikir berapa persen energi yang mungkin bisa dihemat. Berapa persen pula polusi yang bisa dikurangi. Dan, berapa persen juga penyakit jiwa yang bisa diredam. Soalnya, saya sendiri tidak punya gambaran jelas mengenai itu semua. Karena memang saya tidak punya data. Apalagi melakukan survei secara langsung. Tapi, kebiasaan mengkhayal yang sejak SD sudah biasa saya lakukan rupanya mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Saya pun mengabaikan angka-angka dan langsung pada kesimpulan bahwa pasokan energi di bumi semakin langka. Sebara

Sandyakalaning Arak Karangasem


Arak Bali memang punya daya pikat tersendiri bagi para pecinta minumankeras. Karismanya bahkan sempat menginspirasi Slank ke dalam salah satu lagunya Namun belakangan, popularitas arak Bali sedikit tercederai. Menyusul kasus arak Melon – plesetan arak Methanol yang menelan puluhan nyawa menjelang akhir Mei yang lalu. Serta merta arak Bali sulit dicari dan para pengerajinnya langsung dibuat tiarap dengan kasus ini. Bagaimana nasib mereka? 


BEBERAPA bulan yang lalu, Bali gempar dengan kasus arak Melon – plesetan arak Methanol. Bagaimana tidak, puluhan nyawa melayang akibat arak oplosan ini. Dan, saat itu juga arak Bali seakan menjadi kambing hitam atas petaka yang satu ini. Karena kondisi ini, para pengerajin arak pun menjadi ketakutan. Sebab, kasus tersebut ternyata memantik reaksi pihak kepolisian di Bali dengan menabuh perang terhadap arak.

Operasi penertiban gencar dilakukan. Kalau ada warga yang ketahuan memproduksi arak pasti digerebek. Begitu juga di jalan, kalau ada yang kedapatan membawa arak entah pakai jerigen atau apapun pasti bakal ditangkap. Dan, kondisi ini sampai sekarang masih tetap terjadi.

Pun demikian dengan Karangasem yang notabene punya belasan ribu orang pengerajin arak yang tersebar di lima kecamatan. Yakni Sidemen, Abang, Bebandem, Sibetan, dan Kubu. Bagi mereka kasus arak Melon benar-benar memukul usaha kerajinan yang telah mereka lakoni dari turun-temurun. Bahkan bisa dibilang sebagai mata pencaharian mereka sehari-hari.

Tekanan ini pun mulai membuat beberapa pengerajin arak meradang. Di Desa Merita, Kecamatan Abang contohnya. Beberapa waktu yang lalu, warga sampai sempat ngedig kulkul (pukul kentongan) saat razia gabungan yang dilakukan pihak kepolisian berusaha menggerebek salah satu rumah warga.

Aksi apatis ini dilakukan karena mereka sudah tak tahan lagi dengan tekanan yang menimpa usaha mereka sehari-hari. Bak kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kasus arak Melon meledak, pasaran mereka menjadi sepi, dan kondisi kian sulit karena polisi terus mengejar.

Sikap ini sampai sekarang masih terlihat di wajah sejumlah pengerajin arak. Bahkan, saat Radar Bali hendak melakukan wawancara, Kamis (8/10) tak mudah untuk mencari pengerajin arak yang bersedia untuk dimintai keterangan soal nasib usahanya. Tiap desa yang didatangi, warganya sebagian besar mengaku tidak tahu-menahu. Di Lingkungan Belong, Manggis contohnya. Tak satu orang warga pun mengaku tahu di mana tempat memproduksi arak tradisional. Padahal, beberapa orang peminum mengaku arak Belong lumayan enak.

Untung saja di Merita yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari Amlapura, Radar Bali sempat bertemu dengan salah seorang pengerajin arak. Itu pun setelah dapat ancaman bakal di-gedigin kulkul kalau seandainya wartawan benar-benar intel dari kepolisian. Dan, lewat diplomasi serta pengenalan diri yang ruwet, akhirnya pengerajin tersebut bersedia bercerita mengenai keluh kesahnya sejak arak Bali menjadi kambing hitam atas petaka arak Methanol beberapa waktu lalu.

“Maaf kalau kami agak curiga. Ini kami lakukan karena kami sempat mau ditangkap polisi. Saat itu juga warga satu desa di sini langsung ngedig kulkul. Karena membuat arak merupakan matapencaharian warga di sini,” ujar salah seorang pria yang tadinya duduk di sebuah warung.

Sejurus kemudian, pria itu langsung mengantarkan koran ini ke sebuah rumah. Di sana seorang wanita dengan menggunakan kamen sedang bersiap untuk sembahyang. Degup jantung yang masih nyaring berangsur sirna, begitu koran ini menyaksikan perabotan penyulingan arak tradisional yang terbuat dari bambu. “Ini dah, alat untuk buat arak,” celetuk Ni Nengah Sukerti, ibu rumah tangga yang sehari-harinya bekerja membuat arak.

Sejurus kemudian, Sukerti pun bercerita bagaimana nasib usaha rumahan yang dia lakoni sekarang ini. Sejak kejadian arak Melon, usahanya langsung seret. Padahal, untuk membuat arak modal yang diperlukan tidak sedikit. “Kejadian itu membuat penjualan arak menurun. Sudah itu, mereka yang menjual arak sering dikejar-kejar polisi. Kalau seperti itu terus bagaimana kami mau makan dan menyekolahkan anak. Karena itu sudah menjadi pekerjaan kami di desa ini,” ujar Sukerti sambil menyogok kayu bakar untuk memanaskan belek (sejenis jerigen minyak dari kaleng) yang berisi tuak.

Menurutnya, memproduksi arak secara tradisional selalu mengikuti musim tuak. Bahan utama pembuatan arak. Kalau sedang musim, produksi arak bisa dilakukan selama satu hari satu malam. “Biasanya, kalau sudah musim. Arak yang dihasilkan bisa sampai 20 jerigen. Itu pun kalau punya modal yang lumayan. Dari 20 jerigen itu, kalau dijual bisa dapat untung Rp 30 ribu. Tipis sekali,” ceritanya.

Mengenai penjualannya, Sukerti mengaku harganya bermacam-macam. Tergantung pada kelas arak itu sendiri dan ke mana akan dijual. Kalau arak kelas satu dijual sekitar Rp 10 ribu per botol. Harga ini akan turun menjadi Rp 8 ribu kalau dijual kepada pengepul. Sementara untuk arak kelas dua, dijual dengan kisaran harga Rp 6 ribu atau Rp 5 ribu per botol. Seterusnya arak kelas tiga, harganya bisa mencapai Rp 4 ribu per botol. “Lihat kelasnya. Kalau kelas satu pasti mahal,” jelas wanita yang suaminya bekerja sebagai buruh proyek ini.

Harga arak tradisional ini akan berbanding terbalik dengan harga arak yang diproduksi secara modern. Harga arak modern yang biasanya dipasarkan ke hotel dan supermarket harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Seperti arak De’ Awa yang diproduksi UD Partha Jaya, satu dari tiga pabrik arak modern di Karangasem yang berlokasi di Desa Sengkidu, Manggis, harganya bisa mencapai Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu.

“Kenapa dijual mahal, karena saya segmentasi dari produk kami memang menengah ke atas. Dengan harga yang mahal, para peminum jalanan bisa dikurangi,” ujar pengelola UD Partha Jaya, I Made Puja Astawa yang ditemui koran ini sebelum berangkat ke Merita.

Bercerita soal pengaruh arak Melon, pria yang punya nama kecil De’ Awa ini mengakui ada pengaruhnya terhadap pemasaran produksinya. Namun gejolak pemasaran yang terjadi itu masih bisa diredam. Dengan cara membuat garansi kepada seluruh hotel atau supermarket bahwa produk yang dikeluarkan perusahaannya aman untuk dikonsumsi.
“Semacam pernyataan bahwa arak kami layak untuk dikonsumsi. Dan, kebetulan hotel serta supermarket tempat kami memasarkan memberi saran seperti itu,” ujar De Awa.

Sayangnya, pria yang pernah menjadi bartender selama sembilan belas tahun ini enggan menyebutkan berapa volume produksinya. Baik dalam sehari atau satu bulan. “Itu off the record. Karena menyangkut costum,” kilahnya.

Sebagai orang yang bergerak di bidang industri minuman beralkohol, De Awa mengaku prihatin juga dengan kondisi yang dialami pengerajin arak di Karangasem. Menurutnya, kendala abadi yang sampai sekarang belum bisa terpecahkan adalah masalah izin. Terlebih pusat yang punya otoritas terhadap regulasi peredaran minuman beralkohol sudah tidak mengeluarkan izin lagi. “Dan satu lagi, mengurus izin memang perlu modal yang besar. Jelas pengusaha kecil yang hidupnya sudah susah akan semakin sulit,” terangnya.

Menurutnya, salah satu solusi agar pengerajin arak bertahan dari krisis adalah dengan menembus pasar ekspor. Namun hal ini memang tidak mudah dilakukan karena perlu modal yang cukup tinggi. Sehingga perlu mendapat “bapak asuh”.
“Kendalanya di permodalan saja. Karena untuk ekspor lagi-lagi harus berurusan dengan perizinan. Kalau izin sudah ada, ekspor justru akan lebih mudah karena cukai, PPN MB, dan PPN ditiadakan. Pemerintah pusat justru menggenjot ekspor,” imbuhnya.

Berhitung soal pendapatan Karangasem dari pemasaran sejatinya sama sekali tidak ada. Baik dari produksi yang modern maupun yang tradisional. Untuk yang modern, sekalipun ada pungutan cukai, PPN MB, dan PPN, alirannya lari ke pusat. Ini karena otoritas di bidang regulasi minuman beralkohol dipegang oleh pusat.
“Terus terang saja, kontribusi ke pemerintah daerah belum ada sama sekali. Karena larinya ke pusat semua. Akan lain halnya, kalau Bali menjadi kawasan ekonomi khusus. Segala peraturan bisa dikelola penuh oleh Pemprov. Tapi bicara itu untuk sekarang ini akan sangat sulit,” terang De Awa.

Pun demikian dengan produksi arak secara tradisional. Pendapatan dari pemasaran arak tradisional bagi Karangasem sama sekali belum ada karena perda yang mengatur belum ada sama sekali. “Perda yang mengatur penjualannya belum ada, jadi sampai sekarang belum ada retribusi yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah,” jelas Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Karangasem I Ketut Puspa Kumari.

Sejauh ini, menurut Puspa, pemasaran arak bersandar pada Perda Disperindag Provinsi Bali. Namun dalam perda tersebut tidak diatur mengenai pemungutan retribusi. “Yang diatur hanya pemasarannya saja. Tata pemasarannya yang harus melalui distributor serta tempat mana saja yang bisa diperkenankan untuk menjual,” tandas Puspa Kumari.

Ada Harmoni Hidup di Balik Cap Minor Arak

Demi tetap memproduksi arak, pengerajin berusaha mati-matian untuk bertahan. Termasuk beradu dengan aparat. Ini dilakukan, karena leluhur mereka hanya mewariskan kemampuan membuat arak sebagai penghidupan sehari-hari.

SULIT untuk menetapkan waktu kapan arak sesungguhnya diproduksi di Karangasem. Bahkan kalau hal ini ditanyakan kepada mereka yang bergelut dalam pembuatan minuman fermentasi ini, jawabannya akan sama. Tidak tahu. Dan, mereka akan melanjutkannya dengan jawaban kerajinan arak ini sudah ada sejak leluhur mereka. Sudah menjadi tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Di samping itu, selain untuk dikonsumsi, arak sejatinya diperlukan pula dalam beberapa upacara agama sebagai petabuh. Tapi, kebutuhan arak untuk upacara biasanya tidak terlalu banyak. Paling tidak yang diperlukan sekitar delapan botol.
Kebutuhan yang tidak terlalu banyak ini juga digunakan bila arak dijadikan obat. Apalagi Arak Api, katanya, arak yang satu ini ampuh untuk beberapa jenis penyakit. Mereka yang sering rematik bisa menggunakan arak dengan mencampurkannya dengan beberapa jenis rempah. Pun demikian dengan sakit gigi, tinggal kumur, sakit gigi bisa hilang.

Lain halnya dengan produksi arak untuk sekadar enjoy-enjoy saja. Ini tergantung modal dan bahan baku yang ada. Bahkan bagi pengerajin tradisional, faktor alam juga jadi pegangan mereka. Kalau musim hujan, produksi arak biasanya akan dihentikan. Lebih banyak menjual dari pada memproduksi.

Seperti dituturkan Ni Nengah Sukerti, kalau sedang musim, dia bisa lebur satu hari satu malam. Dan, dari hasil jerih payahnya bergumul dengan jelaga, arak yang didapat hanya berkisar 20 jerigen. Untung dari penjualannya begitu tipis, hanya sekitar Rp 30 ribu.

Lain halnya bila kejadian arak Melon tak terjadi. Sukerti mungkin masih bisa menutup “lubang” akibat pinjam ke koperasi atau ke rentenir. Sekali memerlukan modal, Sukerti paling tidak pinjam sekitar Rp 3 sampai Rp 5 juta. Dia mengaku, kasus itu sama sekali tak mempengaruhi jumlah produksi araknya. 20 jerigen selama satu hari kalau sedang musim tetap dia produksi. “Cuma sulitnya ya itu, kalau mau jualnya. Orang setiap jalan, kalau ketahuan di jalan di tangkap polisi,” kata Sukerti.

Untungnya, dia masih bisa survive dengan kondisi yang ada saat sekarang. Karena pihak desanya memang mengayomi aktivitas produksi arak yang sebagian besar dilakukan oleh warga di Merita. Ini dilakukan, karena arak memang penghidupan mereka. Toh, kalau ada bagian dari pohon Lontar yang bisa diolah hanya daunnya saja. Daun lontar bagi masyarakat di Desa Merita biasanya dimanfaatkan untuk membuat tikar. Tapi, untung dari itu hanya cukup untuk dipakai satu hari saja.
“Sejak kasus Methanol, saya hanya bisa berdoa saja. Biar saya bisa selamat. Apalagi di Desa Merita ini semua warganya nyungsung Betara Arak Api,” jelas wanita berperawakan pendek ini.

Dengan jujur, Sukerti mengaku saat ini produknya belum ada label. Ini dilakukan karena sulitnya mencari izin. Dia sendiri mengaku tidak mengerti kenapa izin sulit untuk dicari. Padahal dia menjamin arak yang diproduksinya murni tanpa ada campuran apapun alias oplosan.

“Saya nggak mengerti sama pemerintah. Di bilang kalau mau mencarikan izin. Tapi sampai sekarang kok izinnya nggak keluar-keluar. Makanya terus terang saja saya belum pakai label,” tuturnya dengan polos.

Beda halnya dengan produksi secara modern. De Awa sama sekali tidak terlalu gonjang-ganjing. Karena arah pemasaran produksinya memang berbeda. Hotel, supermarket, atau pasar modern menjadi sasarannya. Itu pun dijual dengan harga yang berlevel menengah ke atas.

“Memang kasus arak Methanol itu ada pengaruhnya terhadap pemasaran kami. Upaya kami biar nggak anjlok ya membuat surat pernyataan kepada tempat penjualan. Bahwa, arak kami layak konsumsi,” jelas De Awa.

Agar lebih yakin, perusahaannya juga buka pintu bagi siapa saja untuk menyaksikan secara langsung proses pembuatan araknya. Mulai dari kalangan perhotelan hingga para tamu. “Saya berusaha membuat mereka yakin. Caranya, ya mengundang mereka untuk melihat secara langsung proses pembuatan arak,” imbuhnya.

Bagi De Awa, membuat alkohol memang gampang. Tapi membuat alkohol yang berkualitas, itu sangat sulit. Sehingga dia pun bercerita bagaimana dia sering kena marah istrinya. Saat melakukan riset selama satu tahun setelah pariwisata Bali ngedrop akibat peristiwa Bom Bali II.

“Saya riset setahun dibantu Maria Sahagun. Teman dari Meksiko. Saya sampai sering dimarahi istri karena perabotannya sering saya rusak. Sukses menemukan formula yang tepat baru saya buka pabrik. Saya pun menggandeng Pak Partha untuk permodalan. Jadi owner pabrik ini beliau,” cerita De Awa.

Di sisi lain, anjloknya popularitas arak memang menjadi perhatian serius Pemkab Karangasem. Karena sekitar 14 ribu warga Karangasem diantaranya adalah pengerajin arak. Yang nasibnya sempat teracam akibat kasus arak Metanol. Sejumlah langkah sudah dilakukan sekalipun pada dasarnya kontribusi arak ke PAD sama sekali belum ada.

Menurut Puspa Kumari, sulit untuk mengingkari arak sebagai potensi unggulan Karangasem. Sehingga komitmen untuk melindungi dan mengayomi para pengerajin arak mau tidak mau harus ada.

Beberapa langkah yang sudah diterapkan adalah membentuk kelompok pengerajin. Sejauh ini jumlahnya baru 12 kelompok yang tersebar di lima kecamatan. Bahkan, keduabelas kelompok ini kini tengah menjalani pelatihan untuk meningkatkan kadar alkohol. Menyusul kesediaan Mention House, salah satu merek minuman alkohol yang lumrah di pasaran untuk membeli alkohol dari kelompok pengerajin tersebut.

“Kini mereka sedang dilatih untuk meningkatkan kadar alkohol. Dari kadar alkohol 30 atau 40 persen menjadi 90 persen. Karena dari pihak Mention House sendiri menginginkan alkohol seratus persen,” beber Puspa Kumari.

Selain itu, pihaknya juga berusaha untuk melobi produsen arak berizin untuk menampung hasil produksi pengerajin tradisional. Menurutnya, produsen yang berizin saat ini hanya berjumlah tiga saja. Yakni di Antiga, Sibetan, dan Sengkidu. “Masih terbatas. Karena sejak 2007, pusat tidak lagi mengeluarkan izin untuk produsen minuman beralkohol,” paparnya.

Yang paling anyar dan hendak akan dilakukan pihaknya adalah membuat seminar mengenai arak. Kebetulan beberapa bulan yang lalu, Pekat Bersatu melakukan audiensi dengan Pemkab Karangasem. Intinya, Pekat menginginkan agar pemerintah bersedia mengayomi para pengerajin arak yang nasibnya mulai terkatung-katung.

“Seminar itu akan kami lakukan dalam waktu dekat ini. Mereka yang terlibat dalam industri ini akan diundang untuk mencarikan solusi bagaimana sebaiknya arak dipasarkan. Termasuk membahas perda agar kontribusi ke daerah ada,” jelas Puspa Kumari.

Puspa sempat membeberkan ide yang dicapai setelah pertemuan dengan Pekat Bali. Bagaimana ke depannya agar produksi arak tradisional digiring ke sistem produksi yang lebih modern. “Bahkan ide yang tercetus dari pertemuan itu, Pemkab diminta untuk membuat laboratorium. Selain itu mengakomodir seluruh produksi arak tradisional untuk dikemas dengan baik,” paparnya.

Sejak kasus arak Melon, upaya apa yang Diperindag lakukan? Ditanya seperti itu, Puspa Rini menggarisbawahi kasus itu murni karena arak yang dijual atau dikonsumsi korban adalah arak oplosan. Bukan arak murni seperti diproduksi oleh para pengerajin arak. “Karena itu oplosan, jelas tidak boleh. Saya tidak mau mengomentari itu, Tapi yang perlu ditekankan, kasus itu jangan sampai memberi dampak negatif bagi pengerajin arak tradisional,” tegasnya.

Kembali ke soal izin, Puspa Kumari mengakui sisi regulasi yang satu ini akan sangat sulit untuk dilakoni. Karena dari pusat sendiri sejak 2007 sudah tidak mengeluarkan izin lagi. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanya relokasi izin. Maksudnya, izin di daerah lain yang pabriknya sudah tutup dibeli.

“Kami sudah mencoba menjajagi kemungkinan itu dengan menggandeng Asosiasi Produsen Minuman Beralkohol. Tapi relokasi itu perlu biaya yang tinggi. Minimal perlu dana Rp 1,3 miliar. Dan, saat dilaporkan, Bupati mengaku sulit untuk melakukannya karena dari sisi APBD itu tidak memungkinkan,” ceritanya.

Upaya lain yang akan ditempuh untuk melindungi pengerajin arak tradisional adalah dengan memanfaatkan sejumlah aturan yang ada. Kebetulan Desember 2008 yang lalu pemerintah mengeluarkan UU 20/2008 tentang UMKM. Menurut Puspa Kumari, dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa setiap usaha rakyat yang berkembang secara turun-temurun wajib dilindungi dan diayomi pemerintah. “Aturan ini paling tidak memberikan nafas baru buat pengerajin arak. Tinggal menunggu PP dari UU itu saja,” tandas Puspa Kumari.

Hidup Segan, Mati pun Menunggu?

KASUS arak Methanol memang menjadi pukulan telak yang tak pernah disangka oleh para pengerajin arak tradisional. Khususnya yang berada di Karangasem. Karena kasus tersebut praktis membuat mata pencaharian mereka terancam. Kini para pengerajin arak tradisional yang sebagian besar bermodal kecil hanya bisa berharap-harap cemas. Menunggu komitmen Pemkab Karangasem yang berjanji bakal mengayomi usaha yang diwariskan para orang tua mereka.

Seperti Sukerti, sebagai masyarakat biasa tak banyak yang bisa dilakukan saat penjualan arak sedang paceklik. Dia hanya bisa berdoa agar usahanya tersebut berjalan lancar. Tanpa ada masalah sedikitpun. Harapan ini dia panjatkan karena dia sendiri harus menanggung biaya sekolah dua orang anaknya yang masih duduk di bangku SD dan membesarkan satu anak balitanya.

“Jujur saja, kasus arak Methanol itu sama sekali tidak mempengaruhi jumlah yang arak yang saya produksi. Cuma saya ada rasa takut juga. Dan, rasa takut ini saya hilangkan dengan cara berdoa saja,” kata Sukerti.

Berharap tanpa ada usaha juga tak ingin dia lakukan. Dia pun berkeinginan agar pemerintah segera mencarikan solusi terhadap peredaran arak. Karena ini menyangkut kelangsungan hidup keluarganya. Dan, bagi Desa Merita, produksi arak merupakan denyut nadi masyarakat setempat.

“Di sini, siapa saja punya arak. Sedikit-sedikitnya satu jerigen. Dik, bisa keliling desa ini kalau tidak percaya. Karena memang produksi arak ini merupakan penghasilan utama warga di sini. Nah, kalau itu ditutup kami akan makan apa?” katanya.

Dia mengaku sempat mendengar rencana Pemkab Karangasem akan mengakomodir setiap pengusaha arak tradisional. Agar produksinya tetap bisa berjalan. Namun sejauh ini, realisasi dari wacana itu sama sekali belum dia rasakan sama sekali.

“Makanya saya terus terang saja, kenapa arak saya belum pakai label. Karena untuk mencari label harus pakai izin. Nah, sekarang pemerintah mau mengurus izinnya. Tapi sampai sekarang itu nggak ada buktinya,” ketus Sukerti sambil berusaha menenangkan balitanya yang sedang rewel.

Hal senada juga dituturkan salah satu tokoh masyarakat Karangasem I Nyoman Pasek. Menurutnya, pelaksana undang-undang dalam hal ini aparat tidak bisa menertibkan perdagangan arak tanpa melihat latar belakang industri arak di suatu daerah.

“Nggak bisa kalau pelaksana undang-undang membabat begitu saja. begitu juga dengan pembuat undang-undang, harus mengontrol kinerja pelaksana undang-undang. Itu yang selama ini belum saya lihat. Harus ada saling kontrol di kedua belah pihak,” kata Pasek.

Harus ada solusi yang disodorkan kepada para pengerajin arak. Karena hampir di tiap kecamatan ada saja pengerajin arak yang menggantungkan hidupnya dari penjualan minuman fermentasi tersebut. “Jangan tidak boleh berproduksi tetapi tidak ada solusinya. Harus ada solusinya. Kalau seperti itu, baru aparat dan pemerintah layak untuk diacungi dua jempol,” sentilnya.

Menyinggung kejadian arak Methanol yang merenggut puluhan nyawa, pria asal Pidpid ini mengaku setuju kalau produsennya diberikan hukuman berat. Karena itu merugikan konsumen bahkan merenggut nyawa. Namun, dengan adanya kasus tersebut posisi arak jangan digeneralisir begitu saja. Seakan-akan semua arak berbahaya karena mengandung Methanol.

“Harus ada batasan. Jangan main generalisir seperti itu. Nah kalau ada pertanyaan apa boleh minum arak? Saya berani bilang boleh. Cuma yang perlu diatur kan kadarnya. Kalau berlebihan ya jelas bakal menjadi petaka buat si peminumnya. Jadi dengan adanya kasus seperti itu, jangan berusaha mengambil kesimpulan dengan gampang,” tegasnya.

Lantas? “Ya sekarang baik pemerintah, aparat, bahkan Parisdha pun kalau bisa duduk bersama. Arak kan juga dipakai untuk upacara juga. Bagaimana agar solusi yang dimunculkan nanti tidak merugikan salah satu pihak. Intinya, bagaimana caranya agar kerajinan arak tetap jalan namun tidak sampai melanggar undang-undang,” pungkasnya. (chairul amri simabur)

Komentar

  1. Iya mana nih duduk solusinya. pencitraan arak bali kini makin negatif, berjalan terbalik dengan permintaan arak yang banyak diburu sebagai oleh-oleh bagi banyak wisatawan yang sedang berlibur di bali. Bersifat abu-abu tapi legalitasnya ada, jadi statusnya tetap setengah-setengah. Sehingga mencarinya cukup sulit, dan masih kebanyakan hanya dijual fi warung kecil yang terselubung. Mungkin ada beberapa diantarnya sudah ada hingga tempat oleh-oleh besar, tapi jumlahmya terbatas dan arak yang dijual adalah sejenis beras dan tidak mewakili cita arak yang sebenarnya. Arak yang dijual hanya jual lebel arak bali, harganya pun sekelas minuman luar. Jika produsen rumahan mengatakan tidak bisa sampai legalitas, selalu jawabnya perijinan dipersulit. Sudah seharusnya, pihak penguasa turun dan menyumbangkan ide sarjannya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menengok Klebutan Toya Masem (2-habis)

Seandainya Seluruh Dunia Rayakan Nyepi?

Menengok Klebutan Toya Masem (1)